RS Stella Maris Makassar

Social Media --> Instagram : @rsstellamaris | YouTube : RS Stella Maris Makassar

“Melayani Dalam Semangat Kasih”

Jalan Somba Opu No 273, Makassar - Sulawesi Selatan

CALL CENTER

0813 60 888 100 / 0411 - 871391

WHATSAPP

0813 98 888 200

Social Media --> Instagram : @rsstellamaris | YouTube : RS Stella Maris Makassar

“Melayani Dalam Semangat Kasih”

Jalan Somba Opu No 273, Makassar - Sulawesi Selatan

CALL CENTER

0813 60 888 100 / 0411 - 871391

WHATSAPP

0813 98 888 200

dr. Ivan Rasionalisasi Penerapan Karakter Sembuh Covid-19

Social Media :

Instagram : @rsstellamaris | YouTube : RS Stella Maris Makassar
"Melayani Dalam Semangat Kasih"

Jalan Somba Opu No 273, Makassar - Sulawesi Selatan

CALL CENTER

0813 60 888 100 / 0411 - 871391

WHATSAPP

0813 98 888 200

dr. Ivan Rasionalisasi Penerapan Karakter Sembuh Covid-19

dr. Ivan Rasionalisasi Penerapan Karakter Sembuh Covid-19

Rasionalisasi Penerapan Kriteria “Sembuh” dari Covid-19

Oleh: Dr Ivan Soemiady SpPD

Spesialis Penyakit Dalam RS Stella Maris Makassar 2014-sekarang.

Pada 17 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan kriteria baru untuk pasien Covid-19 yang dinyatakan “sembuh” dan tidak perlu lagi menjalani isolasi. Pada kriteria yang sebelumnya diperlukan untuk dua kali pemeriksaan swab negatif pasien untuk dinyatakan dinyatakan.

Dengan kriteria yang baru, pasien yang bergejala gejala demam serta gejala pernapasan, seperti sesak dan batuk) kurang dari sepuluh hari, mereka cukup menjalani isolasi selama minimal 13 hari. Dan untuk mereka yang bergejala lebih dari sepuluh hari diperlukan minimal tiga hari bebas gejala untuk dibebaskan dari isolasi.

Contohnya, untuk pasien yang bergejala 1-10 hari, mereka dinyatakan sembuh setelah 13 hari ditentukan oleh kesulitan sejak onset (awal) gejala. Untuk Yang bergejala 25 hari diperlukan 25 + 3 = 28 hari Penghasilan kena pajak onset untuk review dinyatakan Sembuh, seterusnya demikian.

“Sembuh” dalam hal yang diberi tanda kutip karena pasien kemungkinan masih mempunyai virus dalam tubuhnya, tetapi penularan setelah menjalani isolasi selama minimal 13 hari atau setelah tiga hari gejala gejala di atas sudah sulit.

Hal ini mengingat kemampuan replikasi virus tidak sekuat hari – hari awal onset gejala. Untuk pasien yang tidak bergejala sedari awal atau OTG (orang tanpa gejala), kriteria ini kriteria sepuluh hari setelah pemeriksaan swab positif.

Meskipun tidak kemungkinan kemungkinan penyebaran penyebaran penyebaran ke orang lain, dengan terbentuknya antibodi yang menetralkan virus pada hari ke-5 hingga ke – 10, diharapkan penularan akan lebih sulit.

Alasan lain diterapkannya kriteria baru ini adalah karena pasien yang mengalami isolasi berkepanjangan yang sering tidak terganggu secara psikologis. Pemeriksaan swab PCR ( polymerase chain reaction ) sangat tergantung pada limit deteksi virus sehingga sering negatif, tetapi kemudian disusul positif kembali. Hal seperti ini sering menambah frustasi pasien yang merawat.

Pedang bermata dua

Untuk negara kita, kriteria baru ini sangat cocok diterapkan mengingat keterbatasan pemeriksaan swab serta waktu pemeriksaan yang tidak singkat. Di sisi lain, kebijakan ini bagaikan pedang bermata dua karena ditetapkan dengan kriteria ini bukan berarti aman tak menularkan virus kepada orang lain. Penularan tetap dapat diterapkan meskipun risikonya kecil.

Kebijakan ini juga harus dilakukan dengan bijak untuk pasien dengan lingkungan tempat tinggal yang kekal atau padat sehingga mengakibatkan pasien yang peduli menjaga jarak.Untuk pasien seperti ini, pemeriksaan swab negatif dalam dua kali pemeriksaan tetap perlu dilakukan.

Untuk mereka yang bekerja di bidang kesehatan, seperti tenaga medis, atau pun mereka yang bekerja di panti asuhan, kebijakan ini juga sulit diterapkan mengingat antara mereka dan kelompok yang rentan terkena Covid -19, dalam hal ini pasien di rumah sakit atau kelompok usia lanjut dan anak – anak.

Untuk masyarakat kita secara umum, kriteria “bebas” ini dapat diterapkan dalam konteks tanggung jawab.Hal ini dapat dilakukan dengan menanamkan pengertian kepada masyarakat bahwa pasien yang dikeluarkan dari isolasi baik isolasi mandiri maupun di rumah sakit bukan berarti pasien bebas sembuh dan tidak dapat lagi menularkan ke orang lain.

Pasien tersebut tetap bertanggung jawab penuh untuk mempertahankan kebiasaan memakai masker, menjaga jarak, dan kerumunan kerumunan, serta pemeliharaan tangan sebelum praktek tangan, hidung, dan mulut guna menghindari penularan kepada orang lain yang lebih efektif serta mencegah tertular kembali tentunya.

Berkaca dari penerapan normal baru di sejumlah daerah di Indonesia, normal baru yang diterapkan sebagai tanda besar masyarakat sebagai tanda berakhirnya suatu pandemi, tampak dengan semakin longgarnya kebiasaan seperti memakai masker dan menjaga jarak yang sudah terbentuk selama masa sosial sebelumnya.

Jangan sampai kriteria sembuh ini dipandang sebagai masyarakat rasa aman yang semu untuk tidak menularkan kepada orang lain atau malah dilihat sebagai paspor sehingga masyarakat menganggap jika mereka sudah sembuh berarti sudah aman, sudah kebal.

Peran pemerintah dalam sosialisasi sebelum mereapkan kebijakan ini mutlak diperlukan guna meredam salah kaprah yang dapat terjadi. Hal ini mengingat implementasi kebijakan tersebut sangat menguntungkan dari segi ekonomi karena tidak perlu pemeriksaan swab yang biayanya cukup mahal pada saat ini.

Jangan sampai motif ekonomi sekali lagi harus menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat. Sebab, hanya masyarakat yang sehat yang sanggup membangun perekonomian bangsa.

Artikel ini telah di terbitkan di Kompas.

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *